LANDASAN
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU
DALAM FILSAFAT ILMU
A. Landasan Ontologi
Ontologi
merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari
aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme;
(2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi
merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di
bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan
bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali
orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang
berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan
tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin
adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang
sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara
atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan
tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi
benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos =
logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah
, sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam
Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora,
filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari
apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang
ada.
Term
ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.
Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan
demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang
ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi,
dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1.
Monoisme
Paham
ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik
yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a.
Materialisme.
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu
adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada
hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan
yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini
berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
- Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
- Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
- Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu, peristiwa jiwa
selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam
peristiwa ini.
Dalam
sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan
Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan
haklekat adalah benda.
b.
Idealisme
Aliran
idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,
yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
- Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
- Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
- Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
- Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2.
Dualisme
Dualisme
adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan,
yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh
sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun
ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran
ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran
tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa
sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa
seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih,
terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3.
Pluralisme
paham
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah
anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh
modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal
sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of
Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
4.
Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya
adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari
keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani
dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi.
Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya
moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani.
Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan
demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai
baru, dengan transvaluasi semua nilai.
5.
Agnotisisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi
agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan
manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan
skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui
hakikat bahkan menyerah sama sekali.
B. Landasan Epistemologi
Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah
etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam
metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam
epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah:
(1)
Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu?
(2)
Dari mana pengtahuan itu dapat
diperoleh?
(3)
Bagaimanakah validitas pengetahuan
itu dapat dinilai?
(4)
Apa perbedaan antara pengetahuan a
priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori
(pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi
meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang
akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik
seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis,
positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh
oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri
dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1.
Metode Induktif
Induksi
yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam
induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang,
bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi
juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut
memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2.
Metode Deduktif
Deduksi
ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam
metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan
itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori
tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan
teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
3. Metode Positivisme
Metode ini
dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
4. Metode Kontemplatif
Metode ini
mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti
yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam
filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya
diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
C. Landasan Aksiologi
Pengertian
aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna
“etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti
kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik
buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu
objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan
demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu
objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam
ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang
nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan
bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama,
adat istiadat.
D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu
Istilah ilmu
sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan gambaran yang tidak
tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini dikaitkan dengan
berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya matematika, logika,
penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan [science] dengan
pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah keguanaan ilmu ? Apakah
perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah peranan logika ? Dimanakah
letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode penelitian? Apakah
fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia
berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan
manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab
dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga
masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan
berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu
yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan
[knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan
abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa"
dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah
pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan
didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi.
a.
Landasan Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui.
Apa yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang
menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
Suatu pertanyaan:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
- Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia [seperti berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan
pengetahuan.
[inilah yang mendasari Ontologi].
[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi
merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang
paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya
perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap
orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan “kenyataan”[reality].
Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang ada”[being], ”kenyataan”
[reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change],
“tunggal”[one]dan“jamak”[many].
Ontologi
merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ” Apakah
sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang
menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah
yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang
bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan
mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan
peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa
yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu adalah dunia
pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat
empiris.
Pengetahuan
keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang
disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya
sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau
"mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam
bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan
membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses
keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih
jauh dibalik kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan
yang dapat diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia
melakukan transendensi terhadap realitas.
Untuk
mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai
obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang
memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai
obyek empirisnya :
- Asumsi pertama : Asumsi ini
menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain
misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi [taksonomi]
merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
- Asumsi kedua : Asumsi ini
menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari
tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu hanya menuntut adanya
kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak
berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian memungkinkan kita untuk
melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.
- Asumsi ketiga : Asumsi ini
menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.
Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan
urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka turunlah
hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu hanya
mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar
mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian ilmu
mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika adalah
teori peluang.
b. Landasan Epistemologi
Epistemologi
mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of
knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi
antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan
beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah
. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuan dengan berdasarkan :
1. Kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2. Menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan
secara factual.
Suatu
Pertanyaan :
- Bagaiman
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah
kriterianya ?
-
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu ?
Inilah
kajian epistemology
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi
atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha kita memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses
tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis
tidak statis. Setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama
hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
mempergunakan metode keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar