Selasa, 01 Desember 2015

Makalah Kapita Selekta : KESADARAN PLURALISME DAN STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA AGAMA DALAM KOMUNITAS SEKOLAH



KESADARAN PLURALISME DAN STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA AGAMA DALAM KOMUNITAS SEKOLAH
a)      Kesadaran pluralisme
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”.
Apakah sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) mengartikan pendidikan multikultural sebagai any set of proces by which schools work with rather than against oppressed group.  Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu defenisi tentang  pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno (dalam Suara Pembaharuan, 23 September, 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas  dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi  keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapanya, sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan  yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali (dalam Kompas, 26 April 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis multikultural”. Menurutnya,  pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
b)      Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah
Pengembangan budaya agama memiliki landasan yang kokoh baik secara normatif, relegius dan konsitusional. Sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk mengelak dari upaya tersebut, apalagi disaat bangsa dilanda krisis multidimensional yang intinya terletak pada krisis akhlak dan moral. Karena itu perlu dikembangkan berbagai strategi yang kondusif dan kontekstual dalam pengembangannya dengan tetap mempertimbangkan secara cermat terhadap dimensi-dimensi pluralitas dan multi kultural yang menjadi ciri khas bangsa indonesia serta mengantisipasi berbagai akses yang mungkin terjadi sebagai akibat dari upaya pengembangan daya agama dalam komunitas sekolah.
Adapun strategi untuk membudayaakan nilai-nilai agama disekolah dapat dilakukan melalui :
a.       Power strategi yakni strategi pembudayaan agama islam disekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalm melakukan perubahan.
b.      Persuasive strategy yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atuat warga sekolah
c.       Normatif re-educative norma adalah aturan yang berlaku dimasyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education. Normatif digandengkan dengan re- educatif (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan menganti paradigma berfiir masyarakat sekolah yang lama dengan yang baru.  
Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan, sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikemngkan melalui pembiasan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antisipasi, Yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar